RSS Feed

Sang Pencerah: Belajar dari Sang Guru

Posted by Mochammad Reza


“Agama itu apa?”. Barisan panjang pengunjung di ruang itu sempat menyurutkan niat yang sudah terbangun. Dengan amat sangat terpaksa sekali pada akhirnya kubulatkan tekad untuk tetap setia menikmati mengikis waktu dalam barisan tersebut demi satu tujuan suci, nonton Sang Pencerah. Sebagai catatan, ini kali pertama saya rela mengantri panjang untuk mendapatkan beberapa karcis nonton. Dalam situasi padat merayap, petugas cantik mengumumkan bahwa karcis untuk waktu yang menjadi target telah terjual habis. Berbekal prinsip pantang pulang tanpa hasil, akhirnya terpilihlah yang berjadwal tayang selepas isya’, pukul 19.40 tepatnya.

Sang Pencerah, film yang mengisahkan Muhammad Darwis, atau yang lebih populer dengan nama Ahmad Dahlan, sebagai pendiri organisasi besar Muhammadiyah. Didukung lingkungan yang agamis, Darwis muda mulai menolak kebiasaan masyarakat yang dianggapnya menyimpang dari tuntunan agama. Ingin memperdalam pengetahuan agama, akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke Tanah Suci pada usia muda, yakni 15 tahun. Sepulangnya dari Mekkah, Dahlan semakin berani untuk menentang apa yang menjadi kebiasaan warga di desanya. Mulai dari membenarkan arah kiblat Masjid Kauman hingga tradisi-tradisi yang ia yakini tidak islami. Sampai pada akhirnya beliau mendirikan sebuah perkumpulan yang saat ini sudah berumur setengah abad, Muhammadiyah.


Mungkin saja cerita dalam film ini sudah diketahui banyak orang. Dan menurut pendapat pribadi, film ini terkesan standar, artinya tidak ada sesuatu yang “wah” di dalamnya. Jadi sebaiknya saya potong saja ringkasan cerita sampai di sini karena memang biasa saja dan datar. Lagipula kalau terlalu banyak diceritakaan di sini, tentu tidak akan menarik lagi untuk disimak. “Belajar dari Sang Guru”, hal inilah yang menurut saya lebih penting ketimbang mengingat kembali cerita yang kini sudah menjadi sejarah. Semoga saja film ini tidak terlalu banyak mendramatisasi dan lebih banyak menuju fakta sesungguhnya.

“Agama itu apa?”. Agama itu menyejukkan. Agama itu menentramkan. Jawaban Dahlan ketika ditanya oleh salah seorang muridnya. Sebelum menjawab, beliau sempat memainkan biolanya. Saya terkesan sekali dengan jawaban sederhana Sang Guru. Ketika pada masa itu agama lebih menjadi sekedar doktrin dan tradisi turun temurun, bahkan agama dijadikan sebuah komoditi yang bisa diperjualbelikan, Dahlan mencoba menyandingkan ilmu agama dengan nalarnya sebagai manusia. Kyai atau orang yang dianggap paham soal agama digambarkan sebagai orang yang kumuh, jorok, bau sehingga kalangan priyai (orang yang lebih modern) bersikap antipati terlebih dahulu, seperti antipatinya kyai-kyai tersebut pada produk kafir. Sekali lagi, Dahlan memutarbalikkan anggapan tersebut.

Pemikiran moderat beliau ternyata mendapat hambatan paling besar justru dari lingkungan di mana ia tinggal. Mulai masyarakat luas sampai keluarga sendiri. Ujung-ujungnya gelar kyai kafir pun akhirnya ia sandang. Kyai kafir?? Orang yang paham agama berdebat lalu menyebut kafir?? Terus bagaimana dengan orang seperti saya yang pengetahuan agamanya masih cetek?? Bukankah hidayah itu mutlak milik Tuhan?? Namun di tengah cercaan yang bertubi, ia masih sanggup berdiri meski sempat terjatuh. Dukungan dari murid-murid, kerabat dekat serta istri yang setia menemaninya membuat ia tetap tegar memperjuangkan apa yang ia yakini.

Agama merupakan proses. Proses menuju kebenaran. Kebenaran hakiki hanyalah milik Yang Maha Benar. Sedangkan kebenaran pada manusia adalah kebenaran yang nisbi. Saya berpendapat bahwa kita tidak dituntut untuk benar, tapi kita dituntut berusaha untuk benar. Seperti halnya kita semua, KH Ahmad Dahlan hanya berusaha untuk bertindak benar. Bukan menyederhanakan persoalan agama, namun islam bagi saya adalah agama yang sederhana. Bila direnungkan lebih dalam, pikiran-pikiran moderatnya bertujuan untuk menyiarkan agama islam agar bisa diterima oleh semua kalangan, tanpa doktrin, tanpa embel-embel tradisi. Modernisasi yang tak harus dihindari. Mental beliau yang begitu tangguh mengajarkan pada kita akan sebuah keyakinan. Keyakinan yang terkadang tak bisa ditangkap oleh logika. Kita kehilangan pendidik. Guru yang memberikan pemahaman, bukan pengertian. Mudah-mudahan cita-cita beliau dalam mendirikan Muhammadiyah akan tetap berkobar tanpa terjebak dalam politik praktis. Karena saya rasa Muhammadiyah memang tidak didirikan untuk itu.

0 comments:

Posting Komentar