RSS Feed

Dari Dansa Hingga Musik Jazz (Bagian I)

Posted by Mochammad Reza




Akhirnya kutuangkan juga ide-ide yang selama ini hanya mengendap dalam pikiran. Ini hanyalah merupakan cerita yang ingin kubagikan melalui tulisan tanpa makna...

Semula berawal dari salah seorang teman yang mengundangku dan beberapa teman untuk dapat hadir dalam sebuah pesta. Nadia namanya. Kami berkenalan di salah satu lembaga bahasa terkemuka di kota Jogja. Kabarnya, pesta itu merupakan momen yang spesial. Kakak perempuan Nadia akan melangsungkan pesta pernikahan. Mendengar berita bahagia itu, aku pun menyanggupi untuk hadir. Yah, kalau boleh jujur sih sebenarnya sekalian refreshing setelah penat beraktivitas rutin. Setelah berkoordinasi dengan cukup alot, akhirnya kami sepakat untuk datang pada acara tersebut mengingat Nadia akan melanjutkan studinya di Paris, Perancis. Sebuah kota yang kata orang merupakan kota paling romantis di dunia



Suasana pagi itu bising sekali. Di sana, di ruang publik itu nampak ramai. Hiruk pikuk serta lalu lalang setiap orang yang beraktivitas di sana menambah kesan sibuk. Akan tetapi, suasana yang demikian tak mampu menutupi perasaan gembiraku. Jiwa-jiwa petualang begitu bergejolak. Terbersit sedikit perasaan bersalah karena tak dapat ikut serta bersama teman-teman dari kampus yang telah kukompori mengadakan bakti sosial hari itu. Tapi, bak pejabat gedongan, hal itu kuanggap angin lalu.

Aku dan temanku yang memang sengaja berangkat bersama, bertemu dengan kedua teman yang telah lama menuggu. Memang dasar jiwa-jiwa tak disiplin ini!! Tak pernah tepat waktu. Malu jadinya. Hal yang memang tak pantas untuk ditiru. Mari kuperkenalkan teman-temanku itu. Seseorang yang datang bersamaku bernama Yusuf, tapi lebih sering dan lebih pantas dipanggil Ucup. Sedangkan kedua teman yang telah menunggu tadi bernama Taruna dan Ichsan. Dengan model ala backpacker, kami berempat siap berangkat.

***

Perasaan bosan sudah menyelimuti sebagian besar orang yang ada di situ. Sudah hampir tiga jam lebih kami berada dalam gerbong hingga penat dan lelah pun tak terhindarkan. Dalam situasi yang demikian terlihat dari balik kaca jendela keramaian kota. Seketika pula raut wajah berseri kembali. Perlu diketahui, sejam-dua jam pertama aura keceriaan masih melekat pada kami. Kegiatan-kegiatan autis dan di luar batas kewajaran masih sering dilakukan menunjukkan euphoria sesaat. Setelah itu, teror kesunyian mulai mengancam.

Lajunya perlahan berhenti. Gesekan-gesekan antara roda dan rel mulai berteriak keras. Masinis pun membunyikan “klakson” tanda sudah hampir sampai. Penumpang pun segera bersiap turun. Sayang, panasnya hari menyambut kami. Sesaat kemudian kami pun menjejakkan kaki di Semarang, kota bandeng presto. Kaki yang akan menjadi bukti bahwa jalan kaki dari stasiun hingga Lawang Sewu sangat melelahkan. Don’t try this at home, Bro! Capek…Sumpah!!
Dengan nafas berat serta betis yang mulai kaku, akhirnya kami berempat tiba di Lawang Sewu. Konon, tempat tersebut sering dijadikan wisata misteri di kota itu. Aneh. Aneh karena wisata kok ya ke tempat yang serem-serem kayak gitu. Tak ingin dianggap orang yang merugi, kami pun memasuki bangunan tua renta tersebut. Bangunan yang didirikan pada zaman penjajahan Belanda itu masih berdiri kokoh meski harus dilakukan pemugaran berkali-kali.

Mengelilingi bangunan itu serasa dibawa ke masa kompeni berkuasa. Lorong-lorong yang dibiarkan gelap dan tak terawat serta udara yang lembab menjadikannya semakin angker. Biar angker bagaimanapun, kami masih tetap bisa tertawa, memasang senyuman paling sumringah untuk diabadikan dalam kamera (untung aja masih siang). Perjalanan kami tak berhenti sampai di situ. Kami harus melanjutkan perjalanan mencari tempat beristirahat serta berganti pakaian karena pesta akan dilaksanakan malam itu. Dan itu berarti kami harus memaksa lagi kaki kami untuk terus berjalan. Oh, Tuhan begitu beratnya cobaan-Mu itu.

Dengan bantuan taksi, sampai juga kami di tempat penginapan. Sebelumnya kami sudah berjalan kaki berkilo-kilometer mencarinya dengan hasil nihil (beneran capek banget, mana kaki udah pegel-pegel, terus waktunya juga mulai mepet). Ironisnya penginapan kami tersebut tak jauh dari tempat kami pertama kali menjejakkan kaki, daerah stasiun.

Kami ingin beristirahat sejenak…

--it’s the end of part I--

0 comments:

Posting Komentar