RSS Feed

Pak Beye Berulah (Lagi)

Posted by Mochammad Reza


Terus terang saya heran. Di tengah kasus mengambang tentang mafia pajak yang menyita perhatian publik, seorang presiden dari sebuah negeri yang katanya makmur kaya raya, malah mencari perhatian. Dan akhirnya, perhatian mereka pun beralih. Negeri itu dianggap oleh sebagian peneliti sebagai Atlantis, kota yang hilang. Kalau tak salah, orang memanggilnya dengan Pak Beye. Di depan para pejabat militer negeri itu, Pak Beye menyampaikan bahwa di tahunnya yang ketujuh menjadi presiden, belum ada kenaikan gaji. Banyak yang menilai pernyataan Pak Beye itu sebagai permintaan naik gaji. Tak salah juga menurut saya. Pernyataan itu terlalu multitafsir. Sehingga ada juga kalangan yang menganggap pernyataan tersebut sebagai curahan hati beliau. Anak muda zaman sekarang menyebutnya: curcol. Sedangkan orang-orang pendukung beliau mengatakan bahwa hal itu bukanlah keluh kesah, hanya menggambarkan saja, menunjukkan bahwa ia lebih mengutamakan rakyatnya.

Terlepas dari beberapa pandangan di atas, menurut data yang disajikan oleh salah satu majalah kelas dunia, gaji Pak Beye sekitar 62 juta. Dibandingakan dengan pendapatan per kapita negeri itu, Pak Beye semestinya bersyukur karena penghasilannya sangat jauh melebihi, hanya sekitar 28 kali. Dan menurut majalah itu lagi, ternyata kesenjangan yang terjadi antara penghasilan presiden dan pendapatan per kapita negerinya berada pada peringkat ketiga. Suatu prestasi yang patut dibanggakan. Pemimpin di negara berkembang –jika tidak mau disebut negara miskin– seperti Pak Beye mampu mengalahkan pemimpin-pemimpin di negara maju.

Dulu, Pak Beye –kalau tak salah– berkomitmen untuk memasang badan untuk memerangi korupsi akut yang menjangkiti negeri itu. Hal tersebut ibarat oase yang berada di tengah gurun pasir yang tandus. Namun, sekarang hal ini sepertinya hanyalah tong kosong berbunyi nyaring. Terbukti kasus-kasus seperti mafia hukum, mafia pajak, dan mafia bailout tak tertangani dengan baik. Dengan bantuan media, persoalan-persoalan tersebut akan tertutupi dan segera menguap dari ingatan. Lalu ketimpangan penghasilan sebesar 28 kali pendapatan per kapita negara, seolah-olah Pak Beye melegalkan korupsi, bukan malah memeranginya. Legal bukan dalam arti membolehkan atau memberikan payung hukum dalam berkorupsi, akan tetapi memberikan celah-celah yang sesuai dengan jalurnya. Karena korupsi yang saya pahami adalah sebuah penyimpangan.

Saya heran… dengan gaji sebesar itu, Pak Beye masih mengungkit tentang gajinya yang belum juga naik selama tujuh tahun. Padahal per kepala di negeri itu dibebani utang negara yang tidak sedikit. Penghasilannya yang 28 kali lipat lebih tinggi dari pendapatan per kapita negeri, tak juga menyadarakannya bahwa masih banyak rakyatnya yang menderita karena tak bisa makan dengan layak. Kesenjangan antara penghasilannya dan pendapatan per kapita negara berbanding lurus dengan kesenjangan sosial yang menghinggapi negeri itu. Penindasan terhadap buruh-buruh outsourcing oleh korporasi besar dan perusahaan multinasional mungkin tak pernah terlintas di benaknya. Ribuan anak-anak jalanan yang putus sekolah masih harus berpikir seribu kali untuk meneruskan cita-citanya. Ketika masih banyak polemik yang terjadi di negeri itu, Pak Beye hanya bernyanyi tentang rintihan hati. Saya pun heran ketika salah seorang teman saya mengatakan bahwa lagu ciptaan Pak Beye menjadi salah satu soal dalam ujian seleksi pejabat negara meski tanpa sepengetahuan Pak Beye. Saya semakin heran, sebenarnya Pak Beye ini ingin menjadi pemimpin negara atau pemimpin orkestra. Yang saya tidak heran, kisah Pak Beye ini terjadi di suatu negeri di mana moralitas tak lagi dianggap ada. Suatu negeri di mana para pejabat negaranya memperjualbelikan segalanya. Dan mudah-mudahan cerita ini tidak terjadi di negara saya tercinta, Indonesia.


ilustrasi:flickr.com

2 comments:

  1. ULI FEBRIARNI

    background blognya jelek!
    lagunya norak. errr -.-"

  1. Mochammad Reza

    terimakasih...

Posting Komentar