RSS Feed

Mereka Bilang Aku Egois

Posted by Mochammad Reza


Mereka bilang aku egois. Mereka bilang aku tak pernah memperhatikan kepentingan ataupun kebahagiaan orang lain. Dan mereka juga bilang kalau aku cuma bisa memikirkan diri sendiri. Salahkah aku dengan keegoisanku itu? Apakah salah jika aku bertindak berdasarkan ego, mengeksplorasi potensi-potensi diri yang kumiliki? Salahkah aku bila aku memperjuangkan hari depan yang lebih cerah? Apakah aku tidak berhak mendapat cinta dari keluarga maupun orang-orang sekelilingku? Apakah dengan perilaku itu semua lantas aku disebut egois? Lalu, untuk apa semua orang berlomba-lomba mengejar apa yang disebut pahala? Mengapa semua orang harus sibuk dengan urusan mereka masing-masing? Entah kenapa mereka menyebutku egois. Dan kenapa juga kata “egois” harus hadir pada perbendaharaan kata dalam dunia yang serba abu-abu ini? Ego dan egois. Apa yang salah dari dua kata ini? Hingga banyak orang menjauhinya, mengalahkannya, serta menganjurkan agar mementingkan orang lain. Oh egois, apakah sebenarnya maknamu itu?

Egois menurut asal katanya berasal dari ego yang berarti diri sendiri. Sehingga ada kata “egosentris” yang bermakna segala sesuatu berpusat pada dirinya sendiri. Dan egois bisa diartikan sebagai mementingkan kehendak pribadi. Dalam tulisannya, Mugi Subagyo, seorang praktisi sumber daya manusia, menerangkan bahwa:

Dengan ego, anda dapat memutuskan untuk berpikir positif atau sebaliknya, melakukan tindakan baik atau buruk, merasa bahagia atau sedih, berbuat sesuatu atau diam. Bahkan saat anda memutuskan menjadi orang sukses atau gagal, ego andalah yang melakukannya lebih dulu. Sebagai contoh: Betapa banyak orang yang menyadari kekuatan berpikir positif akan membawanya menuju puncak kesuksesan, tak terhitung jumlah orang yang tahu memotivasi diri untuk melakukan tindakan yang akan menuntunnya menggenggam apa yang dicitakan. Namun mengapa bagian paling besar dari orang tersebut justru gagal? Jawaban ini telah kita ketahui bersama, yaitu kemauan. Kemauan kita untuk bertindak, berbuat dan terus komit pada jalur yang telah kita plot sendiri. Mau atau tidaknya anda berbuat, ego anda yang menentukan, "aku" dalam diri andalah yang memerintahkan.

Terus terang, aku pun masih bingung dengan makna egois yang sebenarnya, meski dalam beberapa konteks, aku setuju dengan penjelasan di atas. Egois bagiku masih bersifat abstrak. Dengan ego, kita mampu untuk meniadakan ego itu sendiri. Itulah yang membuatku menjadi semakin bertanya-tanya tentang inti sebenarnya dari sebuah konsepsi egois. Maksudku tentang ego mampu meniadakan ego itu sendiri adalah ketika kita dihadapkan pada suatu persoalan di antara dua pilihan maka mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus memilih satu di antara dua pilihan tersebut. Sebagai contoh, seumpama di depan kita terbentang dua jalan yang berbeda tanpa ada petunjuk, maka di dalam diri kita minimal terjadi pergolakan batin apakah akan mengambil jalan yang “ini” atau yang “itu”. Kita hanya bisa berspekulasi akan konsekuensi akhirnya. Dalam hal ini ego untuk mengambil jalan “ini” mengalah atas ego untuk mengambil jalan yang “itu”. Dan sebaliknya.

Maumu jadi mauku, pahit pun itu ku tersenyum.” Sepenggal lirik lagu yang dipopulerkan oleh Kotak ini pun dapat kita ambil sebagai contoh. Ketika ada dua kemauan ( kepentingan ) yang berbeda, maka di sini, menurut pemahamanku, juga terjadi peniadaan ego. Kisah cinta dua manusia yang rela mengorbankan ego-nya demi kebahagiaan sang pujaan hati, meski terasa pahit namun bibir masih dapat menyunggingkan senyumnya. Dia egois untuk memenuhi ego sang kekasih. Dan ia juga egois membuang ego-nya sendiri. So, apa itu egois? Apakah aku egois? Atau jangan-jangan kita semua ini adalah orang-orang yang egois? Pertanyaan dasar yang masih menjadi sebuah teka-teki bagiku.

0 comments:

Posting Komentar